Terlahir
dengan pemberian nama oleh ayahnya Steven Demetre Georgiou. Ayahnya
merupakan warga Siprus keturunan Yunani bernama Stavros Georgiou dan
ibunya berasal dari Swedia bernama Ingrid Wickman.
Berikut ini adalah ringkasan kisahnya:
Aku dilahirkan di london (21 Juli 1948), jantung dunia Barat. Aku
dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era
teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan
peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan
aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama
Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan. Dari sini pula aku
mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, al-Masih
‘Alaihis-salaam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk.”
“Mereka banyak memberitahuku tentang Allah, sedikit tentang al-Masih dan lebih sedikit lagi tentang Ruhul Qudus (Jibril).”
“Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis
gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan,
kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran
adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara
kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan,
kelaparan, kebodohan, dan kepapaan.
Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku
bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku
membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan
agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan
jiwa.”
“Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan,
cara yang paling mudah menurutku adalah dengan membeli gitar, mengarang
lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka.
Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama “Cat Stevens”.
Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah
menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali
tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu,
pamorku pun mencapai puncak.”
“Ketika aku berada di puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku
takut jatuh! Aku dihantui kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman
keras satu botol setiap hari, supaya memotivasi keberanianku untuk
menyanyi. Aku merasa orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas.
Padahal, dari wajah mereka, tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang
sesungguhnya. Semuanya harus munafik, bahkan dalam jual beli dan mencari
sesuap nasi, bahkan dalam hidup! Aku merasa, ini adalah sesat. Dari
sini, aku mulai membenci kehidupanku sendiri. Aku menghindar dari orang
banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian diopname di rumah sakit
karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit kondisiku lebih baik
karena mengajakku berpikir.”
Pada saat itulah aku mempunyai kesempatan untuk merenung hingga aku
temui bahwa diriku hanya sepotong jasad dan apa yang selama ini aku
lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad. Aku menilai bahwa sakit
yang aku derita merupakan cobaan ilahi dan kesempatan untuk membuka
mataku. Mengapa aku berada disini? Apa yang aku lakukan dalam kehidupan
ini?
Sejak saat itulah pengembaraan dan pencarian akan kebenaran ia
jalani. Keyakinan yang selama ini ia pegang ia anggap belum mampu
membasuh dahaga spiritualnya.
Setelah sembuh, aku mulai banyak memperhatikan dan membaca seputar
permasalahan ini, lantas aku membuat beberapa kesimpulan yang intinya
bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad. Alam ini pasti mempunyai Ilah.
Selanjutnya aku kembali ke gelanggang musik namun dengan gaya musik
yang berbeda. Aku menciptakan lagu-lagu yang berisikan cara mengenal
Allah. Ide ini malah membuat diriku semakin terkenal dan keuntungan pun
semakin banyak dapat aku raih. Aku terus mencari kebenaran dengan ikhlas
dan tetap berada di dalam lingkungan para artis.
“Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku
siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan
sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai
berpikir tentang jalan hidup yang baru.
Beberapa ajaran Timur ia pelajari dan coba mendalaminya. Demi dahaganya ini juga yang membawanya pada ajaran klenik Timur.
“Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku
mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam
kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai
mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku
mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi
di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah
menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang,
mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru.
Aku lalu pindah kepada ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan
adalah dengan membagi kekayaan alam ini kepada setiap manusia. Tetapi,
aku merasa bahwa ajaran komunis tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Sebab, keadilan adalah engkau mendapat sesuai apa yang telah engkau
usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain.”
“Lalu, aku berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan
mata rantai berbagai pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah
itu, aku mengetahui bahwa tidak ada akidah yang bisa memberikan jawaban
kepadaku. Yang bisa menjelaskan kepadaku hakikat yang sedang aku cari.
Aku putus asa.
Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku
mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku
harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu
keberadaan dan pengertiannya.”
Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka
aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang
aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan
yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih
baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang
musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku
berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan
baik. Aku berangkat dari pemikiran Barat yang bergantung pada
ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada
manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan
pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap
pekerjaannya.”
Pada suatu hari temanku yang beragama Nasrani pergi melawat ke masjidil Aqsha.
Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia
rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya
kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia
merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli
al-Qur’an terjemahan dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap
al-Qur’an.
“Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara
kandungku tertua (david) memberiku sebuah hadiah berupa satu mushaf
Alquran dari sebuah pameran di london. Walau Kakak bukan seorang Muslim,
tetapi mengenal Islam di Jerusalem ketika pergi ke sana dan tinggal
setahun. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds
Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari kitab yang
dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu kitab yang aku tidak mengetahui
apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu
aku mencari terjemahan Alquran al-Karim setelah aku mengunjungi al-Quds.
Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam.
Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan
sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang
asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orang tua saya berdarah Yunani. Dan
orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu,
seyogyanya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman
orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku
harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak mengapa aku mengetahui
isinya.”
Ketika aku membaca al-Qur’an aku dapati bahwa al-Qur’an mengandung
jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku
datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur’an
berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama
ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak
mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.
“Sejak pertama, aku merasa bahwa Alquran dimulai dengan Bismillah
(dengan nama Allah), bukan dengan nama selain Allah. Dan ungkapan
Bismillahirrahmanirrahiim begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu
surat al-Fatihah itu berlanjut dengan Faatihatul Kitab, Alhamdulillahi
rabbil ‘alamiin. Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam,
dan Tuhan segenap makhluk.
Sampai waktu itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak
berdaya. Mereka mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Allah adalah Maha
Esa, tetapi terbagi menjadi tiga dzat! Bagaimana? Saya tidak mengerti’!”
“Dan, mereka mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi.”
Adapun Alquran, maka ia mulai dengan beribadah kepada Allah Yang Maha
Esa, Tuhan segenap alam semesta. Alqura menegaskan keesaan Sang
Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang berbagi kekuasaan dengan-Nya.
Dan, ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya, sebelum aku
mengetahui Alquran, aku hanya mengetahui adanya pemahaman kesesuaian dan
kekuatan yang mampu mengalahkan mu’jizat. Adapun sekarang, dengan
pemahaman Islam, aku mengetahui bahwa hanya Allah semata yang mampu dan
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Hal itu masih dibarengi dengan keimanan terhadap hari akhir dan
bahwa kehidupan akhirat itu abadi. Jadi, tidaklah manusia itu dari
segumpal daging kemudian berubah setiap hari kemudian menjadi debu,
sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi. Sebaliknya, apa yang kita
lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat menentukan keadaan yang akan
terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti. Alquran-lah yang menyeruku
kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya. Adapun gereja yang
menghancurkanku dan membuatku lelah dan letih, maka dialah yang
mengantarkanku kepada Alquran. Yakni, ketika aku tidak mampu menjawab
berbagai pertanyaan jiwa dan kalbuku.”
“Di dalam Alquran aku melihat sesuatu yang asing. Ia tidak sama
dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa bagian atau
sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama lain yang telah kubaca. Di
sampul Alquran juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu,
aku yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus-Nya. Kini aku telah memahami
dengan jelas betul tentang perbedaan Alquran dengan Injil yang ditulis
oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga melahirkan
kisah-kisah yang bertentangan.
Aku berusaha untuk mencari kesalahan di dalam Alquran, tetapi aku
tidak menemukannya. Semua isi Alquran adalah sesuai dengan pemikiran
keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal tentang apa itu
Islam.”
“Alquran bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di dalam Alquran
didapatkan nama-nama semua nabi yang dimuliakan oleh Allah. Alquran
tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan teori ini
sangat logis. Sebab, jika anda beriman kepada seorang nabi dan tidak
kepada yang lainnya, berarti anda telah mengingkari dan menghancurkan
kesatuan risalah. Dari sejak itu, aku memahami bagaimana berantainya
risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia sepanjang
sejarah selalu terdiri dari dua barisan, mu’min dan kafir. Alquran telah
menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian, aku merasa
bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran.”
“Aku mulai membaca Alquran semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku
mulai menerapkan pemahaman yang aku baca dari Alquran. Saat itu aku
merasa bahwa akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku
berpikir bagaimana aku menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi
ke masjid London dan aku mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan,
‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan
rasuulullaah’.”
“Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang
berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua
kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah
mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang
lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang
dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan
mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan
umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat.
Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam.
Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang
dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu
memperbaiki bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh
penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya.”
“Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu
Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan
sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam. Aku lalu mengetahui
kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada
kawan-kawanku, “Apa aku mesti melanjutkan karir musikku?” Mereka
menasihatiku agar aku berhenti, sebab musik akan melalaikan dari
mengingat Allah. Dan itu bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemudi
yang meninggalkan keluarga mereka dan hidup di tengah-tengah musik dan
lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Islam, yang
menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh.”
Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga
terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang
Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang
terdalam.
Pada hari Jum’at, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku
yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan
tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan
keislamanku.
Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat
bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan
agama-agama lain yang harus melalui perantara.”
**
Stevens secara formal masuk Islam pada tanggal 23 Desember 1977 dan
mengubah namanya menjadi Yusuf Islam pada tahun 1978, dengan alasan ia
“selalu mencintai nama Joseph (Yusuf)” dan tertarik khususnya oleh kisah
Yusuf dalam Al-Quran.
Setelah masuk Islam, ia sempat meninggalkan dunia musik dengan
pemahaman bahwa musik diharamkan dalam Islam. Namun, setelah
pemahamannya bertambah, pada 1985 ia kembali ke dunia musik.
Pada 1990-an, ia merekam lirik-lirik mengenai tema-tema Islam hanya
diiringi perkusi dasar. Pada akhir 1990-an, ia menjadi penyanyi tamu
pada lagu God Is the Light di album Raihan. Pada 2000, ia menelurkan
album anak-anak A Is for Allah.
Pada 2003, didukung dunia Muslim, ia merekam lagi Peace Train untuk
sebuah kompilasi CD, yang juga menampilkan David Bowie dan Paul
McCartney. Tahun itu juga ia untuk pertama kali tampil di publik Inggris
setelah 25 tahun.
Akhir tahun berikutnya, ia dan Ronan Keating mengeluarkan versi baru
Father and Son. Pendapatan album ini disumbangkan ke badan amal Band
Aid.
Sejak masuk Islam, ia banyak mencurahkan hidupnya untuk amal dan
pendidikan. Ia mendirikan banyak sekolah. Ia mendirikan lembaga amal
Small Kindness. Pada 1985 hingga 1993, ia menjadi ketua Muslim Aid.
Beberapa lagu terdahulu sebelum ia memutuskan memilih Islam yang
sempat menjadi hitsnya “Morning Has Broken” sempat menduduki anak tangga
Top 10 tingkat internasional dimasa kejayaannya. Selain itu terdapat
pula lagu father and son yang saat ini di recycle ulang oleh beberapa
musisi.
Sumber: http://kisahislami.com/